![]() |
Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen, Jan Maringka, yang juga Ketum Presidium PNI |
"Saya
melihat UU TNI ini sebenarnya justru penegasan. Kalau kita lihat dalam
UU Peradilan Militer No 31 Tahun 1997. Menegaskan Jaksa Agung sebagai
penuntut umum tertinggi. Jadi ada Oditur Jenderal dan di mana Kejaksaan
akan melakukan penuntutan yang sifatnya koneksitas," kata Jan Maringka
dalam acara launching perdana Podcast YouTube Jangan Menyerah (JM),
Sabtu (29/3/2025) di Jakarta.
Artinya
kata Jan Maringka, bisa dilihat ada pintu masuk bagi Kejaksaan
Agung, yang sebenarnya adalah dark number case, mungkin banyak
perkara militer sipil yang tidak dapat terselesaikan ada jalan
keluarnya. "Bahkan juga kita melihat UU Kejaksaan No 11 Tahun 2021 telah
membentuk jabatan baru, yaitu Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer,"
katanya. "Nah
kalau kita lihat ini malah justru penegasan, bagaimana membentuk single
prosecution system (SPS) dalam sistem peradilan hukum acara pidana
(HAP) ke depan sebagaimana diatur dalam UN Guidelines of Prosector,
1990. Jadi kalau lihat sebenarnya ada penegasan Jaksa Agung adalah
Penuntut
Umum tertinggi, baik dalam peradilan militer maupun sipil maka Jaksa
Agungnya satu," ucap Jan Maringka.
Dirinya
juga melihat justru penguatan terhadap fungsi Kejaksaan Agung. Ada satu
lagi lembaga yang memiliki fungsi penuntutan, yaitu KPK.
"Nah
orang sering lupa dalam KPK itu, jaksanya adalah Jaksa dari Kejaksaan
Agung. Sehingga seolah-olah terpisah ada jaksa Kejaksaan Agung dan ada
jaksa KPK, tapi isinya mereka adalah Jaksa yang sama sama," tukas Ketua
Umum Presidium Persatuan Nusantara Indonesia (PNI) itu.
Menurut
Jan Maringka, hal Ini harus diluruskan dalam konteks ke depan, di mana
dilihat ini momennya ada RUU perubahan hukum acara pidana. "Inilah
pintu masuk dalam rangka meluruskan pembentukan konsep hukum acara
pidana. Jadi kita tidak boleh lagi bercerita penyelidikan untuk
penyidikan, tapi berbicara satu kesatuan integrated criminal justice
sistem," terang Jan Maringka.
Sementara
itu Dosen Trisakti Dr Azmi Syaputra SH MH, yang juga Sekjen
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) menilai menarik apa
yang disampaikan Jan Maringka. Kalau dilihat ada peradilan
koneksitas yang sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 89 sampai Pasal 94
dam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUAP), Undang-Undang No. 8 Tahun
1981.
"Kalau kita rujuk
nanti kedalam, katakanlah dalam Rancangan KUAP, hari ini kan diatur di
dalam Pasal 161-165. Ini akan menjadi pertanyaan kalau memang mau
diatur, kejaksaan malah lebih ada dan lebih detail sebelum UU No 8 Tahun
1981," ungkap Azmi.
Bahkan
kata Azmi di Undang-Undang, Nomenklatur ini langsung ada disebutkan
kepada Jaksa Agung dalam wujud Jaksa Agung Muda Pidana Militer, melalui
Jaksa Tinggi Bidang Pidana Militer dan terus ada oditur jenderal TNI
di dalamnya.
Selain itu
juga diatur kalau ada perbedaan antara Jaksa Agung Pidana Militer dengan
Oditur jenderal TNI. Maka Jaksa Agung mengambil keputusan akhir, guna
mengakhiri perbedaan pendapat, sebagaimana diatur dalam ayat 2. "Kalau
kita lihat di sini yang menjadi repot Jaksa Agung Muda Bidang Pidana
Militer yang memang dari kalangan militer. Oditur juga dari militer.
Terus ini juga diatur ada kalimat yang nanti di sini akan sulit sekali
mencari titik keseimbangannya, Apa ini yang dimaksud dengan kepentingan
militer?," tanya Azmi.
Pro Kontra UU TNI
Pro
kontra penolakan UU TNI adalah bagai dari dialektika demokrasi, sebab
sudah tercatat dalam perjuangan reformasi sudah ada pemisahan antara
fungsi TNI / Polri dalam posisi negara. Antara sipil dan profesional
TNI. "Kemarin ada
kekhawatiran terkait isu sensitif berkaitan perluasan tugas TNI, yang
tadinya hanya 10 menjadi 16 fungsi. Misalnya, bisa berperan masuk ke
dalam bidang pemberantasan Narkoba Cyber, Basarnas dan lainnya. Sehingga
orang berpikir kenapa urusan-urusan sipil kok diambil TNI, walaupun
kadang kita melihat faktanya banyak orang TNI yang sudah masuk di jabatan
tertentu tersebut sebelumnya," ujar Azmi yang hadir dalam Podcast
YouTube Jangan Menyerah (JM), Sabtu (29/3/2025).
Padahal
banyak masyarakat yang sudah berkarier lama, ujung-ujungnya jabatan
ini diambil oleh bintang-bintang di TNI. Tidak di
teman-teman TNI atau di teman-teman Polri, sehingga orang yang sudah
sekolah kedinasan dan karier merasa sampai ke puncak karier sendiri. "Ada
yang menganggap juga kalau TNI kariernya bisa sampai 61 sampai 65 tahun
di jabatan fungsional tertentu. Termasuk di internal TNI sendiri,
sehingga dinilai kok panjang nih dan masuk dinilai bukan bersatu dalam
kesatuan tapi bersatu dalam jabatan kekuasaan. Sementara jabatan-jabatan
itu hanya sedikit, akhirnya masuk ke jabatan-jabatan sipil," jelasnya.
Hal
ini kata Azmi, kalau TNI masuk ke fungsi-fungsi sipil, bagaimana
pendekatannya? Tentu masyarakat menilai di TNI, nanti akan masuk dalam
budaya kekerasan mungkin dengan pendekatan senjata dan tidak mau dialog.
"Saat
ini jaman sudah berubah dan terbuka, tapi karena peradilannya ada
peradilan militer TNI nanti akan berbeda lagi dan tidak tersentuh.
Di mana peradilannya dilakukan secara tertutup," pungkasnya.
Sementara
itu Jan Maringka menambahkan, dirinya justru melihat ada
penegasan dalam UU TNI, jika dilihat pada 6 fungsi TNI, yaitu di jabatan
BNPB, BNPT, Bakamla, KKP, Peradilan Hukum Militer dan lainnya. Semuanya
sudah jelaskan pokok dan fungsinya masing-masing.
Jabatan-jabatan
ini sudah banyak dijabat dari kalangan TNI, ada BNPB dalam bidang
bencana yang diisi Angkatan Darat, BNPT dalam bidang terorisme yang
diisi Angkatan Darat. Kemudian ada Bakamla/KKP yang diisi oleh Angkatan
Laut untuk kelautan dan perikanan.
"Di luar
jabatan-jabatan tersebut maka UU TNI tegas mengatur pensiun mereka,"
tutup Jan Maringka yang menjadi host acara Podcast YouTube Jangan
Menyerah (JM). (*/red)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar